IYE! Indonesia Young Entrepreneurship

Indonesia Young Entrepreneurship adalah ajang komunikasi bagi kawula muda Indonesia yang berjiwa Entrepreneur
baik yang sudah memulai bisnisnya, maupun yang sedang bersiap2 menjadi pengusaha

visi: sebanyak2nya pengusaha muda yg prima & etis di Indonesia

Silakan klik http://iye.wiloto.com

Sunday, October 01, 2006

Sosok Moderator IYE!: Rene Suhardono Canoneo



Untuk mengenal lebih dekat para Moderator IYE! maka, rubrik Sosok Moderator IYE! kali ini menampilkan sedikit cerita ttg salah satu Moderator IYE!, Rene Suhardono yang diambil dr majalah SWA.

Kewirausahaan Rene’, dari Warung Gerobak ke Jaringan Kafe
Oleh : Yuyun Manopol SWA

Intuisi bisnis seorang eksekutif kantoran tak selamanya payah. Rene’ membuktikan lewat jaringan Kafe Dixie yang sudah berkembang biak menjadi 6 gerai.

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, tapi Rene’ masih tampak serius berbincang-bincang dengan seorang rekan bisnisnya di Kafe Dixie yang berada di bilangan Kafe Tenda Semanggi (KTS). Sesekali ia mengajak rekan bisnisnya naik ke lantai dua di kafe itu untuk menunjukkan kondisi “warungnya” yang berkapasitas 250 meja. Pertemuan itu kabarnya dilakukan untuk membicarakan seputar pembukaan Kafe Dixie berikutnya di Soewarna Park, Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Sebagai pemilik 6 gerai Kafe Dixie, apa yang dilakukan Rene’ Suhardono Canoneo tentu hal biasa. Namun hal ini menjadi unik jika menilik latar belakang Rene’ yang terhitung masih eksekutif di AMROP Hever, perusahaan yang membidangi jasa head hunter. Lalu, bagaimana ia mengatur kesibukannya sebagai eksekutif dan mengurusi bisnis sendiri.

Rupanya Rene’ mengaku tidak mengalami kesulitan. Yang penting, menurutnya, bagaimana membagi waktu dan disiplin tinggi. Memang diakuinya, di awal memulai usaha ia harus bekerja ekstra keras. Rene’ mengungkapkan sebelum meluncurkan Kafe Dixie ia mengawali usaha ini dari sebuah warung gerobak di Jl. Mahakam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada 1998. ”Waktu itu kami menyewa tempat di pekarangan Restoran Bakery Nila Chandra senilai Rp 500 ribu per bulan. Namanya, Sambel Tomat,” ujar pria kelahiran Jakarta 8 Juli 1972 itu. Modalnya Rp 15 juta, yang diperoleh dari perkongsiannya dengan 9 kawannya di mana setiap orang diminta menyetor Rp 1 juta. Sisanya yang Rp 5 juta merupakan pinjaman dari pamannya.


Warung yang buka pukul 17.30 hingga 24.00 itu menawarkan sejumlah makanan Western, seperti steak, kentang goreng dan nasi goreng. ”Saya menyebut menu terakhir itu dengan sebutan MPA, ’menu putus asa’,” ujar Rene' berseloroh. Ia mengungkapkan keunggulan menu-menu yang ia tawarkan karena salah satu rekan bisnisnya adalah koki di hotel bintang lima di Jakarta. Namanya, Ragil Imam Wibowo (33 tahun). ”Ia sahabat saya sejak kecil,” ujar putra tunggal dari pasangan Rini Warsono (49 tahun) dan Vicente Canoneo (71 tahun) asal Filipina. Dan, Ragillah yang banyak berperan dalam membuat menu.

Rene' bercerita, ia bersama 9 rekannya bergiliran menjalankan usaha itu sepulang dari kerja. Karyawannya pun hanya dua orang. ”Jadi praktis kami semua nyambi dan pasti lelah sekali,” ujar lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini. Masih cerita Rene', saat itu tiap bulan kinerja warungnya naik-turun. Kadang untung Rp 50 ribu, sesekali Rp 500 ribu, tapi tak jarang malah mengalami minus. Rasa lelah yang amat sangat dan keuntungan yang biasa-biasa saja membuat perkongsian ke-10 orang ini tak bertahan lama. Persis hanya satu tahun mereka ber-10 bersama, selanjutnya yang tersisa hanya tiga orang. Mereka adalah Rene’ yang mengurusi bagian manajemen, Ragil di bagian menu/dapur dan Rico Kasmanda (33 tahun) di bagian keuangan. ”Kami bertahan, karena kami memiliki mimpi yang sama yaitu sesuatu yang lebih baik,” katanya.

Pada 1999, Restoran Bakery Nila Chandra ditutup. Karena tempat ini belakangan dijual kepada Bakmi Permata, akhirnya Sambel Tomat pun terpaksa ditutup. Untungnya, dalam waktu bersamaan, Rene’ dkk. mendapat tawaran untuk membuka gerai di kawasan KTS. ”Kami beruntung mendapat kesempatan untuk buka di sana,” ujarnya. Modalnya Rp 150 juta. Dana ini berasal dari kantong mereka bertiga ditambah pinjaman keluarga dan teman, serta menggadaikan mobil dan emas milik Rene’.

Pengumpulan dana di KTS merupakan kenangan yang tak terlupakan bagi Rene’. Saat itu ia mengeluarkan seluruh uang tabungannya, emas yang ia miliki pun dilego. Bahkan mobilnya pun ia ”sekolahkan” -- kata lain digadaikan menurut istilah Rene'. ”Saat itu saya habis-habisan. Sehingga untuk saya sendiri saya hanya mengandalkan uang gaji,” ia berujar. Rene' menjelaskan bahwa ia bukan berasal dari keluarga yang berlebihan.

Untuk memantapkan kehadirannya di KTS, Rene’ dkk. mencoba tampil dengan baju baru yaitu dalam bentuk kafe yang bernama Kafe Dixie. Tak ada arti yang khusus dari nama itu, kecuali terasa enak dilihat dan didengar sehingga mudah diingat. Selain itu, kata dixie adalah pelesetan dari kalimat, ”Sedixie-sedixie menjadi bukit, dan dix sini senang dix sana senang,” ujar Rene’ sambil tertawa menirukan lirik sebuah lagu anak-anak.

Pengorbanan Rene’ dkk. tak sia-sia. Tujuh bulan setelah buka, kafe yang memiliki luas sekitar 12 x 8 meter, 120 kursi dan 20 karyawan ini langsung break even point. Keberhasilan ini makin membulatkan tekad Rene’ dkk. untuk semakin serius menjalankan Kafe Dixie. Tak heran, satu tahun kemudian (2000) Kafe Dixie hadir di Lippo Sudirman. Belakangan pada 2004, karena ada sedikit persoalan dengan pihak pengelola gedung, kafe ini ditutup.

Ketika bisnis Kafe Dixie kian meningkat, kesibukan Rene’ di jalur karier pun meningkat. Pada 2001 Rene’ keluar dari AMROP Hever dan bergabung dengan BPPN. Namun, semangat Rene’ tak luntur untuk terus mengembangkan Kafe Dixie. Pada 2002, konstruksi bangunan Kafe Dixie di KTS dirombak total dari kayu menjadi baja. Setelah itu pada 2003, ia bersama Ragil dan Rico memantapkan usahanya dengan mendirikan PT yang menaungi Kafe Dixie, yaitu: Trirekan Rasa Utama (TRU) yang kini berkantor pusat di Jl. Antasari, Cilandak Barat, Jak-Sel.

Dengan kehadiran TRU, Rene’ dkk. kian mantap melangkah. Hal ini terlihat dengan peluncuran Kafe Dixie di Jl. Kemang Raya (seluas 150 m2) dan Citos (80 m2) pada tahun yang sama (2003). Hal ini berlanjut pada 2004, dengan hadirnya Kafe Dixie di Taman Rasuna Said, Kuningan (30 m2) dan di Benton Junction Lippo Karawaci, Tangerang (180 m2).

Bahkan pada 2005, ia meluncurkan Kafe Dixie di Jl. Gejayan, Yogyakarta dengan luas 1.200 m2. Kehadiran Kafe Dixie ini merupakan ekspansi Rene’ dkk. yang pertama kali di luar Jakarta. Namun tak puas dengan sukses di Kafe Dixie, pada 2005 Rene’ dkk. memperkenalkan produk barunya yang bernama Mahi-Mahi di Jl. Antasari. Sebuah restoran yang khusus menyajikan hidangan laut (seafood) dengan cara memilih sendiri ikan yang diinginkan.

Keberhasilan Rene’ dkk. ternyata punya kiat sendiri. Diceritakan Rene', untuk berhasil dalam bisnis ini diperlukan kedisiplinan dalam pengkajian lokasi. Lalu, efisiensi dan pengembangan menu-menu. Ia mengungkapkan, persoalan efisiensi selalu menjadi perhatiannya. Contohnya dalam hal rekrutmen karyawan. Jika bisa dikerjakan 8 orang kenapa harus 11 orang. Begitu juga penggunaan peralatan. Jika bisa memakai kompor gas yang biasa, kenapa harus memakai kompor gas yang mahal.

Kemudian dari sisi menu. ”Kami selalu mengembangkan menu yang cocok dengan selera sekitarnya,” ujar Rene’. Itulah sebabnya, bisa saja terjadi satu gerai ada beberapa menu yang berbeda dari gerai yang lain. Saat ini Kafe Dixie memiliki 40-50 menu. Antara lain: steak, spageti, kentang goreng, jus dan masih banyak lagi.

Wasirin, Kepala Koki untuk wilayah Jakarta mengungkapkan menu favorit pengunjung Kafe Dixie adalah beef steak, spicy ribs (Rp 49 ribu per porsi), dan chicken hainan dixie style (Rp 29 ribu per porsi). Sebutlah, spicy ribs. Wasirin menyebutnya menu ini dengan kata yang sederhana, iga sapi balado. ”Saya pikir saat ini jarang sekali yang bisa menyediakan menu semacam ini,” ujarnya bangga. Kemudian, chicken hainan dixie style. Diungkapkannya, menu ini tergolong unik. Karena penampilannya dengan warna hijau, padahal umumnya menu semacam ini tampil dengan warna kekuningan.

Steak di Kafe Dixie disajikan dengan dua paduan menu. Menu ini memiliki 8 pilihan yang bisa dipilih sesuai dengan selera pengunjung. Contohnya, steak yang dipadukan dengan menu sauted mixed vegetable dan french fries, atau assorted sauted mushroom dan butter rice. Hal ini juga berlaku pada saus. Kafe Dixie menyediakan pilihan saus BBQ, spicy, teriyaki, pepper dan mushroom.

Dilihat dari sisi harga, saat ini harga yang termahal adalah sirloin steak (US meat) yang harganya mencapai Rp 62 ribu/porsi. Adapun makanan yang paling murah adalah cheese springroll yang harganya Rp 12 ribu/porsi, sedangkan minuman di kisaran Rp 7-8 ribu per gelas.

Sekarang Rene’ sudah merasa puas dengan hasil yang dicapai oleh kafe-kafe miliknya. Setidaknya, menu-menu yang disajikan di Kafe Dixie ternyata memiliki sejumlah penggemar tetap dan terkenal pula. Sebutlah Anjasmara, Agnes Monica, Leoni dan artis-artis AFI 1-4. Mereka terlihat sering berkunjung ke Kafe Dixie di KTS. Fahrul, karyawan bagian servis Kafe Dixie di KTS mengungkapkan rata-rata tiap hari pengunjung yang datang mencapai 100 orang, sedangkan di akhir pekan (Jumat dan Sabtu) pengunjung meningkat sampai dua kali lipat.

Dan Rene’ pun mengaku makin menguasai dari sisi permodalan, yakni dengan membangun mitra-mitra investor. Menurutnya, mitra investor inilah yang menjadi rahasia keberhasilan bisnis yang digelutinya. Dijelaskannya, tiap gerai Kafe Dixie kerap memiliki investor yang berbeda-beda, tapi dari sisi operasional sepenuhnya dijalankan manajemen TRU.

Lynda Ibrahim, salah seorang investor Kafe Dixie mengungkapkan ia pertama kali bermitra dengan Rene’ di Kafe Dixie tahun 1999, tapi secara formal baru pada 2002 di cabang KTS. Investasi ini kemudian ia lanjutkan dengan peluncuran Kafe Dixie di Benton Junction, Lippo Sudirman dan Lippo Karawaci, Tangerang.

Manajer senior merek sebuah perusahaan multinasional yang membidangi fast moving consumer goods ini menceritakan tertarik berinvestasi di sini karena prospek bisnisnya bagus. ”Selain konsepnya jelas, mereka mengejar niche market yang cukup besar yaitu anak muda dan keluarga,” ujar wanita keturunan Aceh dan Jawa ini. Ia menambahkan, dari sisi kinerja Kafe Dixie termasuk baik. ”Memang ada naik-turunnya, tapi trennya terus naik,” ujarnya.

Alasan yang lain, karena sosok yang menjalankan Kafe Dixie. ”Mereka mengerti bisnis dan saya tahu betul integritas Rene’. Ia orangnya jujur dan sungguh-sungguh,” ucap wanita yang mengenal Rene’ lebih dari 10 tahun sebagai sepupu dari sahabatnya sendiri itu.

Tak seperti Kafe Dixie, kini Mahi-Mahi dikembangkan dengan cara waralaba. Rene’ menjelaskan saat ini perusahaannya sedang mencari mitra bisnis yang cocok untuk kehadiran Mahi-Mahi di sejumlah wilayah di Jakarta seperti di Bintaro, BSD, Depok dan Cibubur. Sementara untuk Kafe Dixie, Rene’ berencana tahun depan membuka cabang di Ambarukmo Plaza, Yogyakarta, Soewarna Park di Bandara Soekarno-Hatta, dan Surabaya. Tahun 2007 pihaknya siap pula membuka cabang di Semarang.

No comments:

http://iye.wiloto.com

http://iye.wiloto.com
IYE! Indonesia Young Entrepreneurship is a corporate social responsibility activity of Wiloto Corp. Indonesia Young Entrepreneurship adalah ajang komunikasi bagi kawula muda Indonesia yang berjiwa Entrepreneur

Indonesia-Young-Entrepreneurship at Yahoo! Groups

Christovita Wiloto & Co. - PowerPR

IYE! Small Business

IYE! Managing Business

IYE! Young Entrepreneur News

IYE! Entrepreneurship News

IYE! Innovation & Design

IYE! Indonesia Business News

IYE! Business Online

IYE! Strategic Indonesia

IYE! Asia Hot Business

IYE! Europe Hot Business

Reuters: Business News